Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak telah usai dihelat. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) berhasil memenangi pilkada di 14 provinsi dan 247 kabupaten/kota seluruh Indonesia.
Raihan prestasi politik PDIP ini luar biasa. Di tengah konflik politik partai ini dengan mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) – kader partai ini dan lengser dari jabatannya pada 20 Oktober 2024 dan kini telah dipecat – partai yang mengusung kredo ideologi Nasionalis-Soekarnoisme ini tetap kokoh di lanskap politik nasional.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP, Hasto Kristiyanto, mengatakan partai berlambang banteng moncong putih itu berhasil memenangi pemilihan kepala daerah (pilkada) di 14 provinsi atau 38 persen dan 247 kabupaten/kota atau 48 persen.
Di level provinsi, kader dan calon PDIP menang di Pilkada Aceh, Riau, Jambi, Bengkulu, Bangka Belitung, Daerah Khusus (DK) Jakarta, Bali, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Papua, Papua Tengah, Papua Pegunungan, Papua Selatan, dan Papua Barat.
Tetapi, PDIP kalah di Pilkada Jawa Tengah (Jateng) dan Sulawesi Utara (Sulut), dua wilayah yang selama ini dikenal sebagai kandang banteng dan kadernya seringkali memenangkan kontestasi politik di kedua provinsi tersebut.
Lebih lanjut Hasto merinci, terdapat sembilan kader PDIP tampil sebagai gubernur terpilih, termasuk Pramono Anung Wibowo, yang memenangkan Pilkada DK Jakarta. Selain itu, ada 162 kader dari 247 kabupaten/kota yang berhasil memenangi pilkada.
Dalam perspektif historis politik, partai ini telah memenangkan Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) tiga kali berturut-turut: 2014, 2019, dan 2024. PDIP juga merebut kemenangan di Pemilu 1999, pemilu pertama yang digelar di era reformasi.
Partai yang punya keterikatan dan keterkaitan sejarah serta kultural politik dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) ini mampu melanjutkan prestasi politik PNI yang memenangkan Pemilu 1955 dengan 8.434.653 suara (22,32 persen) dan 57 kursi parlemen.
Sempat digencet sepanjang rezim Orde Baru (Orba) Soeharto berkuasa. Secara pasti PDI (nama lama PDIP) selalu menempati ranking ketiga selama era Orba. Pada Pemilu 1999, PDI yang berubah nama menjadi PDIP menorehkan prestasi politik mengagumkan. Partai ini memperoleh dukungan 35.689.073 suara (33,74 persen) atau 153 kursi DPR RI. Itu raihan suara terbanyak dan tertinggi PDIP.
Dari enam kali pemilu era Reformasi, PDIP menang empat kali. Tak hanya menang di Pemilu 1999, pada kontestasi politik 2014 PDIP merebut 23.681.471 suara (18,95 persen) atau 109 kursi DPR RI. Lalu di Pemilu 2024 dengan 25.384.673 suara (16,72 persen) atau 110 kursi DPR RI.
Selanjutnya, di Pemilu 2004, PDIP kalah vis a vis Partai Golkar. Saat itu, partai ini menempati ranking kedua dengan 21.026.629 suara (18,53 persen) atau 109 kursi DPR RI dan di Pemilu 2009 di posisi ketiga, di bawah Partai Demokrat dan Partai Golkar, dengan 14.600.091 suara (14,03 persen) atau 95 kursi DPR RI.
Matang Ditempa Sejarah
PDIP merupakan kelanjutan sejarah dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang berdiri pada 1973. PDI kali pertama terjun di kontestasi politik pada Pemilu 1977 bersama Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Golongan Karya (Golkar).
PDI merupakan gabungan lima partai, yakni Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan Soekarno pada 1927 di Bandung. PNI jadi wadah berpolitik kelompok Nasionalis, kaum Marhaen, dan para penggagum Bung Karno (Soekarnoisme).
PNI menjadi pemenang di Pemilu 1955: Pemilu pertama setelah proklamasi 17 Agustus 1945, dengan dukungan politik lebih dari 20 persen suara sah.
Kredo politik yang diusung PNI adalah Nasionalisme, satu ideologi yang menampung semua suku, etnis, agama, dan antargolongan yang bersifat heterogen dalam komunitas masyarakat Indonesia yang plural.
Ideologi Nasionalis merupakan ide politik, pola gerakan, dan pemikiran berdasar sudut pandang Soekarno yakni Marhaenisme. Dalam ide ini tak ada pengecualian antara suku, etnis, antargolongan, dan agama masyarakat yang terabaikan antara satu dengan lainnya. Karena itu, ideologi Nasionalisme (Pancasila) berlaku secara universal untuk membangun sumber daya manusia (SDM) dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Partai lain yang tergabung dalam fusi dengan PNI di PDI adalah Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Katolik, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), dan Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba).
PDI selalu finish di posisi ketiga di sepanjang pemilu era rezim Orba Soeharto. Pada Pemilu 1977, PDI hanya memperoleh 8,05 persen (29 kursi). Pada Pemilu 1982 cuma dapat 6,66 persen atau 24 kursi.
Menjelang Pemilu 1987, Ketua Umum DPP PDI Soerjadi mencari cara untuk menaikkan pamor partai dan mencari dukungan masyarakat. Soerjadi berhasil menarik trah Soekarno dengan bergabungnya Megawati dan Guruh Sukarno ke dalam PDI, tujuannya untuk mendongkrak suara partai.
Pada Pemilu 1987, PDI berhasil menaikkan elektabilitas dengan memperoleh 10 persen suara atau setara 40 kursi. Lalu, di masa Pemilu 1992, PDI mendapatkan 14 persen dukungan yang setara 56 kursi.
Lonjakan dukungan politik kepada PDI melalui Pemilu 1987 dan 1992 menggusarkan rezim Soeharto. Dua pemilu tersebut menandai kesadaran politik yang makin tinggi di kalangan rakyat, terutama komunitas kaum Nasionalis, para penganut dan pengagum ajaran Soekarno dan pemilih tradsional PNI.
Selain itu, setelah lebih dari 24 tahun berkuasa, berbagai borok dan kelemahan rezim Soeharto mulai tampak nyata di permukaan Terutama terkait dengan praktek KKN dan bisnis anak-anak elite penguasa yang memperoleh banyak privilege.
Dalam tatanan politik Orde Baru, pemerintah dalam kapasitas suprastruktur politik jadi pembina politik. Kapasitas itu diperankan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan jajaran puncak pemerintah daerah di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota. Keabsahan kepemimpinan partai wajib hukumnya memperoleh restu dan pengesahan dari pemerintah.
Kultur politik restu penguasa membuat ruang lebar distorsi di lapangan politik praktis. Politik belah bambu diterapkan dengan sokongan kekuasaan, antara pihak yang didukung penguasa versus kekuatan yang dimarginalkan kekuasaan. Realitas politik ini terjadi di PDI, terutama setelah Pemilu 1992, dan juga PPP.
Konflik internal partai, terutama menyangkut kepemimpinan puncak partai, mengkombinasikan peran banyak unsur, baik bersifat eksternal maupun internal.
Dari perspektif eksternal, dualisme kepemimpinan partai biasanya disokong posisi dan peran kekuasaan yang mengobok-obok partai. Dari perspektif internal, konflik itu meletus dan berseri-seri akibat kekurangmatangan elite partai dalam menyikapi perbedaan pandangan politik yang muncul.
Sehingga kompetisi politik memperebutkan kepemimpinan struktur puncak partai bersifat zero sum game. Bukan win-win solution dan politik akomodasi yang memayungi semua faksi politik yang ada secara proporsional. Ketidakmatangan elite partai mengakibatkan mereka gampang diadu domba dan struktur partai rentan mengalami pembelahan politik.
Dalam sejarah politik Indonesia modern, “kudeta politik” di lingkungan kepartaian menimpa PDI, dari Megawati Soekarnoputri ke Soerjadi pada rezim Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto.
Pada 22 Juni 1996 dilaksanakan KLB (Kongres Luar Biasa) PDI di Medan yang berhasil menurunkan dan mengganti Megawati sebagai pimpinan PDI.
Dalam Opposing Suharto: Compromise, Resistance, and Regime Change in Indonesia (2005), Edward Aspinall, pemerhati politik dari Australia, mengungkapkan, pada 1996, PDI yang dipimpin Megawati mengalami kegusaran. Terdapat laporan bahwa Departemen Dalam Negeri dan ABRI meminta PDI untuk menandatangani Kongres Luar Biasa (KLB) yang akan dilakukan pada 1996.
KLB tersebut ada campur tangan dan pelibatan eksternal, dalam hal ini elemen pemerintah. Konflik politik ini berujung pada kerusuhan 27 Juli 1996 atau Kudatuli di Kantor PDI, Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat. Komnas HAM mengidentifikasi akibat peristiwa tersebut, 5 orang tewas, 149 luka, dan 23 orang hilang.
Dalam Indonesian Politic Crisis: The Long Fall of Suharto, 1996-1998 (1999:24), Eklof menjelaskan bahwa pelaksanaan KLB dan upaya mengganti Megawati sebagai Ketum PDI tidak lain adalah siasat dari pemerintah.
Di era Orde Baru Soeharto, PDI–bersama PPP–dipaksa terus-menerus berada di kutub oposisi politik. Tak ada akses politik diajak masuk pemerintahan. Ranah eksekutif pemerintahan jadi ‘jatah’ politikus Golkar, perwira tinggi militer, kaum teknokrat yang merapat ke rezim Soeharto, dan birokrat profesional.
Realitas politik ini berlangsung sejak 1973 hingga Mei 1998. PDI–kini PDIP– dan PPP adalah dua partai yang kenyang pengalaman sebagai oposisi politik, sekalipun sifat dan karakter oposisi adalah loyal kepada rezim penguasa.
Bagi PDIP, selama 10 tahun rezim Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) adalah periode kelanjutan kerja-kerja politik mereka di luar pemerintahan. Mereka berada di kutub oposisi politik kembali. Dan setahun terakhir rezim Jokowi (2019-2024) menambah daftar tambahan waktu partai ini menjadi ‘pseudo oposisi’ terhadap Jokowi, akibat perbedaan posisi dan pandangan politik terkait Pilpres 2024. Tempo sekitar 36 tahun, PDIP menjadi kekuatan politik di garis oposisi terhadap rezim penguasa.
Karena itu, tak mengherankan partai ini memiliki karakter, kultur, dan mental politik yang kuat dan tangguh ketika harus berada di jalur oposisi politik. Sejak kiprah politiknya di pentas politik nasional, mulai fase pembentukan PDI di 1973–melalui kebijakan fusi partai oleh Orde Baru–dan berubah jadi PDIP setelah reformasi Mei 1998, praktis sekitar 13 tahun partai ini berada di panggung kekuasaan dengan peran sebagai partai penguasa. Yakni sekitar 3 tahun di era Presiden Megawati dan 9 tahun di era rezim Jokowi.
Selebihnya PDIP merupakan kekuatan oposisi politik yang tahan banting, bisa memerankan fungsi ‘pseudo eksekutif’, dan kontrol politik secara substantif. Sehingga tak heran, setelah 10 tahun jadi oposisi di era Presiden SBY, PDIP tampil sebagai pemenang di Pemilu 2014, 2019, dan 2024.
Karakter, mental, dan kultur politik oposisi yang kuat, tangguh, dan teruji di PDIP kemungkinan besar tak bisa dilepaskan dari perjalanan dan pengalaman sejarah politik salah satu partai pembentuk PDI di tahun 1973. PNI jadi salah satu unsur penting pembentukan PDI–kemudian bertransformasi politik jadi PDIP.
PNI didirikan Bung Karno pada 4 Juli 1927 di Bandung. PNI jadi partai tertua yang lahir sebagai organisasi gerakan politik untuk mengekspreksikan rasa Nasionalisme Indonesia pada masa pra-kemerdekaan.
Tujuannya, kemandirian ekonomi dan politik untuk kepulauan Indonesia. PNI dibentuk didasarkan pada gagasan untuk tidak bekerja sama (nonkooperatif) dengan pemerintah Hindia Belanda.
Pada akhir Desember 1929, PNI memiliki sekitar 10 ribu anggota. Hal ini kemudian membuat para pihak berwenang merasa khawatir, sehingga Soekarno dan tujuh pemimpin partai lainnya ditangkap pada Desember 1929. PNI dibubarkan pemerintah Kolonial Belanda pada 25 April 1931.
PDIP memiliki paralelisme historis, kultural, politik, dan sosiologis dengan PNI yang didirikan Bung Karno di Bandung pada 1927. Awal pendiriannya, watak politik PNI adalah non-kooperatif dengan penguasa Kolonial Hindia Belanda.
Artinya, partai ini berada di garis oposisi politik terhadap penguasa eksisting. Baru di masa kemerdekaan, demokrasi parlementer, dan demokrasi terpimpin, PNI jadi kekuatan politik strategis di ranah eksekutif pemerintahan. Sejumlah tokoh PNI pernah memimpin kabinet, satu di antaranya Ali Sastroamidjojo.
PNI, Partai Masyumi, Partai NU, PSI, Murba, IPKI, dan kemudian PKI jadi kaki-kaki politik kabinet parlementer sejak akhir 1949 sampai Juli 1959.
Ainur Rohim,
Direktur Utama dan Penanggung Jawab beritajatim.com
Link informasi : Sumber