Redaksi

Merasa Dipersekusi, Pengawas TPS Laporkan 10 Pendukung Cabup Fawait ke Polres Jember

djoko susanto, headline, muhammad fawait, muhammad fawait-djoko susanto, pilkada jember, pilkada jember 2024

Jember (beritajatim.com) – Merasa menjadi korban persekusi, terutama di media sosial, seorang pengawas tempat pemungutan suara (PTPS) melaporkan sepuluh orang dan tiga akun Facebook yang terindikasi pendukung calon bupati nomor urut 2, Muhammad Fawait, ke Kepolisian Resor Jember, Jawa Timur.

Korban bernama Abdurrahman (25), warga Dusun Kramat, Desa Sukoharjo, Kecamatan Tanggul, “Kami laporkan kasus ini ke Polres Jember kemarin, Rabu (20/11/2024),” kata Budi Haryanto, kuasa hukum korban.

Dugaan persekusi itu terjadi pada Senin (18/11/2024), pukul 23.30 WIB. Saat itu, Abdurrahman yang menjabat Pengawas TPS Kramat Sukoharjo sedang bertamu di rumah komisioner Panitia Pengawas Kecamatan Tanggul Ghofur, di Desa Manggisan. Mendadak muncul sepuluh orang yang mendatangi rumah tersebut.

Orang-orang itu mencecar Abdurrahman dengan berbagai pertanyaan. “Mereka minta dibukakan HP, tapi dia menolak. Bahkan ada ancaman klien saya akan dibawa ke Polsek,” kata Budi.

Abdurrahman terpaksa menyerahkan ponselnya kepada orang-orang tersebut. Dia kemudian memilih pulang ke salah satu pondok pesantren.

“Kalau melihat dari pihak-pihak yang melakukan dugaan persekusi tersebut adalah pendukung calon pasangan nomor urut 2 (Muhammad Fawait-Djoko Susanto), bisa ditarik kesimpulan, korban dituduh mendukung pasangan calon nomor 1 (Hendy Siswanto-Firjaun Barlaman),” kata Budi.

Selasa, 19 November 2024, Budi bertemu dengan beberapa pihak, Ponsel Abdurrahman dikembalikan oleh Polsek Tanggul. “Saya protes, kenapa bukan orang-orang malam itu yang mengembalikan?” katanya.

Salah satu pria berinisial F, yang diidentifikasi menjadi salah satu bagian dari pelaku persekusi tersebut, akhirnya menyerahkan ponsel tersebut ke Budi.

“Dia meminta untuk HP itu dibuka untuk mengecek apakah ada aplikasi ‘Gerak Juang’. Setelah dicek, ternyata tidak ada. Lalu dia minta ditunjukkan percakapan WhatsApp dengan PKD (Pengawas Kelurahan Desa), isinya instruksi masalah pekerjaan,” kata Budi.

Abdurrahman tidak tahu apa yang dimaksud dengan aplikasi Gerak Juang. “Kalau kemudian ada anggapan bahwa aplikasi itu sudah di-uninstall, kepolisian punya cara untuk melihat history (riwayat pengunduhan, red),” kata Budi.

Tidak puas, F ingin melihat semua riwayat percakapan Abdurrahman di WA. “Saya menolak. Kalau mau dilakukan seperti itu ya harus melalui prosedur hukum. Laporkan dan dilakukan penyitaan alat bukti. Akhirnya yang bersangkutan tidak memaksa. Setelah tidak ditemukan apa yang dituduhkan, mereka pulang,” kata Budi.

Video penggerebekan dan persekusi itu menyebar di media sosial, termasuk tiga akun Facebook yang teridentifikasi pendukung Fawait. Ini yang membuat Abdurrahman tidak terima. “Bagaimana dengan video viral yang menuduh saya pendukung salah satu calon,” katanya, ditirukan Budi.

Abdurrahman kemudian membuat video yang berisi tuntutan permintaan maaf dari pihak-pihak yang mempersekusinya dan penghapusan video persekusi itu di media sosial. “Termasuk orang-orang yang meng-upload juga meminta maaf, karena telah menyebarkan video tersebut,” katanya.

Dalam waktu satu kali 12 jam ternyata tidak ada satu pun pelaku persekusi yang meminta maaf. Ini yang kemudian membuat Abdurrahman melapor ke Polres Jember. “Ada beberapa pasal yang kami kenakan, yakni Pasal 310, 311, 335 KUHP. Pasal 27a juncto 45 ayat 4 UU Informasi dan Transaksi Elektronik untuk pihak yang menyebarluaskan,” kata Budi.

Menurut Budi, sebenarnya ada banyak akun di media sosial yang mengunggah video persekusi itu. Namun dia hanya melaporkan akun-akun dengan jumlah penonton relatif banyak.

Budi meminta polisi segera bertindak. “Harapan saya ini tidak digiring ke arah tindak pidana pemilu. Ini di luar konteks pidana pemilu. Ini tindak pidana umum. Saya harap polisi profesional, ada pelanggaran KUHPidana dan UU ITE,” katanya.

Kejadian yang dialami Abdurrahman, menurut Budi, adalah peringatan bagi kepolisian untuk melihat kondisi di lapangan. “Jangan sampai ada penyelenggara pilkada lain yang diperlakukan seperti ini, diintimidasi dan dipersekusi. Kalau memang ada krisis kepercayaan ke KPU dan Bawaslu, laporkan saja ke kepolisian. Bukankah ada Sentra Gakkumdu (Penegak Hukum Terpadu),” kata Budi. [wir]


Link informasi : Sumber

Tinggalkan komentar