Surabaya (beritajatim.com) – Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) berencana mengadakan kembali ujian nasional (UN). Ujian ini bakal memakai sistem evaluasi yang berbeda dari UN sebelumnya.
Menanggapi itu, Pakar Sosiologi Pendidikan Universitas Airlangga (Unair), Prof Tuti Budirahayu menekankan perlunya kajian menyeluruh terkait urgensi pengembalian UN.
Kajian tersebut harus mencakup analisis hasil belajar siswa dari tahun 2021 hingga 2024 setelah penghapusan UN, serta melibatkan berbagai wilayah di Indonesia.
Tuti menilai bahwa penerapan Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) secara teori efektif untuk mengukur kompetensi siswa sepanjang proses pembelajaran.
Sebaliknya, ia mengkritik model UN yang lama, yang dianggapnya lebih memberikan tekanan pada siswa karena ujian dilaksanakan di akhir masa pendidikan.
Menurut Tuti, UN model lama sudah tidak lagi relevan sebagai alat evaluasi pendidikan. Ia menyebutkan bahwa UN tersebut lebih banyak memberi dampak negatif, dengan membentuk budaya kekerasan simbolik dan regimentasi yang memengaruhi siswa, guru, dan sekolah.
Ia menambahkan bahwa penilaian berdasarkan hasil UN sering kali bias dan subjektif, serta hanya menekankan pada nilai rata-rata UN sebagai parameter keberhasilan pendidikan.
“Nilai ujian akhirnya bias dan subyektif. Parameter keberhasilan pendidikan adalah dengan nilai rata-rata UN yang tinggi,” ujar Tuti, ditulis Selasa (7/1/2025).
Tuti menegaskan bahwa ia tidak setuju jika UN model lama diterapkan kembali. Ia menilai, sistem tersebut membatasi potensi siswa, karena hanya mengarah pada pencapaian standar tertentu, bukan pada pengembangan kemampuan berpikir kritis siswa.
Hal ini, menurutnya, juga menyebabkan banyak siswa lebih mengandalkan bimbingan belajar untuk mempersiapkan ujian daripada mempelajari proses berpikir secara mendalam. “UN model lama bahkan hampir menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap sekolah,” ungkapnya.
Terkait pelaksanaan UN baru, Tuti menyarankan agar pemerintah memperhatikan tantangan besar yang dihadapi terkait pemerataan kualitas pendidikan di Indonesia.
Ia menekankan pentingnya pelaksanaan UN yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masing-masing sekolah, serta menegaskan perlunya persiapan matang dari pemerintah, sekolah, guru, siswa, dan orang tua.
Menurutnya, perubahan kebijakan pendidikan yang sering terjadi pada setiap pergantian menteri masih menjadi hambatan dalam membangun sistem pendidikan yang kokoh.
Karena itu, Tuti juga mengingatkan bahwa parameter keberhasilan pendidikan tidak hanya dapat diukur melalui skor ujian formal, tetapi harus mencakup berbagai dimensi.
“Kelemahan kebijakan pendidikan di Indonesia, tidak ada blueprint yang cukup baik dan berdurasi lama. Padahal secara historis, Indonesia memiliki pengalaman mengelola pendidikan yang sudah cukup baik,” katanya.
Ia mendorong agar pendidikan memperkuat habitus belajar siswa melalui program-program literasi yang dikembangkan oleh guru, sehingga siswa dapat belajar dengan enjoy tanpa adanya tekanan. [ipl/but]
Link informasi : Sumber