Ponorogo (beritajatim.com) – Grup Reog Ponorogo Sardulo Nareswari dari Desa dan Kecamatan Sawoo memang berbeda dari kebanyakan kelompok Reog lainnya. Jika biasanya peran pembarong, bujang ganong, kelono sewandono, hingga warok dimainkan oleh laki-laki, Sardulo Nareswari justru hadir sebagai paguyuban yang seluruh pemainnya perempuan. Tak heran, penampilan mereka selalu mencuri perhatian setiap kali tampil.
Grup yang berdiri sejak 2015 ini terdiri dari 50 anggota perempuan. Mereka memainkan berbagai peran, mulai dari penabuh gamelan, jathilan, hingga pembarong untuk topeng dadak merak. Semua dilakukan dengan kemampuan luar biasa yang mematahkan stereotip bahwa penari-penari itu di seni reog hanya bisa dimainkan oleh laki-laki.
Tri Heni Astuti, Ketua Sardulo Nareswari, mengungkapkan awal mula terbentuknya kelompok ini berasal dari pertemuan ibu-ibu PKK di desa. Ide tersebut kemudian berkembang menjadi sebuah grup reog perempuan yang kini menjadi kebanggaan masyarakat Sawoo.
“Kami bermula dari kumpulan ibu-ibu PKK. Dari situ muncul gagasan untuk membentuk grup reog Sardulo Nareswari,” kata Heni, ditulis Sabtu (28/12/2024).
Meskipun semua anggotanya perempuan, Sardulo Nareswari tak merasa kalah bersaing saat tampil bersama grup reog lain yang mayoritas pemainnya laki-laki. Bahkan, mereka turut ambil bagian dalam pementasan Reog Ponorogo serentak di Alun-alun Utara pada 22 Desember 2024, sebagai perayaan ditetapkannya Reog Ponorogo sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb) UNESCO.
“Kami ikut serta dalam pementasan tersebut. Ini menjadi kebanggaan bagi kami,” ungkap Heni.
Nama Sardulo Nareswari sendiri memiliki makna mendalam. “Sardulo” berarti macan, sedangkan “Nareswari” melambangkan perempuan dan kecantikan. Nama ini merepresentasikan kekuatan sekaligus kelembutan perempuan yang tetap menjaga kodratnya meski aktif di dunia seni tradisional.
Namun, Heni tak memungkiri adanya tantangan besar dalam regenerasi, terutama untuk peran pembarong dan bujang ganong. Anak-anak muda perempuan cenderung memilih peran jathilan yang dianggap lebih mudah dan lazim untuk perempuan.
“Kami terus berupaya memberikan pemahaman bahwa peran seperti pembarong atau bujang ganong memiliki daya tarik dan prestise tersendiri. Jika berhasil, nama mereka bisa dikenal luas,” jelas Heni.
Suprihatin, salah satu pembarong perempuan Sardulo Nareswari, menceritakan perjuangannya mengangkat dadak merak yang berat. Hal ini menjadi tantangan besar, mengingat kekuatan fisik perempuan berbeda dengan laki-laki.
“Beratnya dadak merak adalah salah satu tantangan utama. Selain itu, kami harus menyesuaikan gerakan dengan irama gamelan,” ujar Suprihatin.
Tantangan lain yang dihadapi adalah waktu dan energi yang terbatas karena tanggung jawab mereka sebagai ibu rumah tangga. Namun, semua itu terbayar dengan rasa bangga karena mampu menunjukkan bahwa perempuan juga dapat berkontribusi dalam melestarikan budaya Reog Ponorogo.
Grup Sardulo Nareswari adalah bukti nyata bahwa seni budaya tradisional bisa tetap hidup dan berkembang melalui sentuhan perempuan. Mereka tidak hanya melestarikan warisan leluhur, tetapi juga memberi inspirasi kepada generasi muda untuk terus mencintai budayanya.
“Tidak semua perempuan bisa menjadi pembarong. Kami ingin membuktikan bahwa perempuan juga mampu menjaga tradisi reog,” pungkas Suprihatin dengan penuh semangat. [end/beq]
Link informasi : Sumber