Jember (beritajatim.com) – Perlakuan Presiden Prabowo Subianto terhadap Joko Widodo akan menentukan sikap PDI Perjuangan terhadap pemerintahan mendatang. PDI Perjuangan sudah menganggap Jokowi seteru.
“Pengumuman resmi pemecatan kepada Jokowi, Gibran, dan Bobby dari keanggotaan PDI Perjuangan pada 16 Desember 2024, jadi penegasan bahwa Jokowi dan keluarga adalah musuh bersama rakyat yang setia menjaga marwah konstitusi dan demokrasi,” kata Muhammad Iqbal, doktor ilmu komunikasi politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember di Kabupaten Jember, Jawa Timur, Rabu (18/12/2024).
Pengumuman pemecatan itu merupakan perintah langsung dari Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Sukarnoputri. “Ini makin mempertegas diametral relasi Megawati dan Jokowi. Nafsu perpanjangan kekuasaan dan pelanggengan dinasti politik Jokowi dianggap telah menabrak konstitusi dan melukai kepercayaan rakyat serta acuhkan etika berdemokrasi,” kata Iqbal.
“Pengumuman pemecatan Jokowi dan dinasti politiknya itu mengingatkan Prabowo untuk menjaga komitmen terhadap penegakan konstitusi dan prinsip demokrasi,” kata Iqbal.
Maka, lanjut Iqbal, sikap PDI Perjuangan untuk beroposisi atau berkoalisi dengan rezim Prabowo akan sangat ditentukan oleh ada tidaknya residu pengaruh Jokowi dalam pemerintahan saat ini. “Bila Prabowo masih memberi ruang lebar atau permisif pada cawe-cawe Jokowi, bisa jadi PDI Perjuangam akan terus menyalakan suluh perjuangan mengkritisi laju rezim Prabowo,” katanya.
PDI Perjuangan semakin berkepentingan dengan hilangnya pengaruh Jokowi di pemerintahan Prabowo karena tak ingin ada reaksi balasan usai pemecatan. Seberapa besar pengaruh Jokowi masih belum bisa ditakar, sehingga aksi balasan pun juga belum diterka bentuknya.
Maka tahun pertama pemerintahan Prabowo akan sangat menentukan. Jika dalam satu tahun pertama anasir dan residu pengaruh Jokowi dalam pemerintahan terus memudar dan bahkan sirna, sangat mungkin PDI Perjuangan akan bersama pemerintah. “Nyalakan api pergerakan, menyatukan diri gemakan kemajuan bersama rezim Prabowo,” kata Iqbal.
“Bila rezim Prabowo menghendaki parlemen tanpa oposisi, pilihannya hanya satu yakni: sterilkan organ pemerintahan dari pengaruh toksik Jokowi,” kata Iqbal. Ini akan membuat PDI Perjuangan lebih nyaman.
Ada opsi lain, yakni Prabowo akan memainkan strategi dramaturgi dengan tetap mengakomodasi kepentingan dan pengaruh Jokowi. Jika demikian, maka PDI Perjuangan akan dibiarkan kritis di parlemen. “:Namun sebatas asal ada jubah checks and balances sebagai kosmetik demokrasi, tapi bukan substansi demokrasi yang otentik,” kata Iqbal.
Apalagi, lanjut Iqbal, kritisisme PDI Perjuangan kemungkinan akan selektif. “PDI Perjuangan bakal tampil sangat kritis terhadap kinerja menteri atau pejabat yang ditengarai bagian dari Jokowi. Sementara terhadap kabinet ‘orangnya Prabowo’, PDI Perjuangan akan ‘main halus’ dalam menjalankan fungsi pengawasan di parlemen,” kata Iqbal.
Dinamika unik seperti ini tidak lepas dari sejarah relasi Megawati dan Prabowo selama bertahun-tahun. “Kendati terjadi pasang surut harmoni, sejatinya tidak saling menegasikan secara personal. Hanya soal waktu keduanya harmonis kembali,” kata Iqbal.
Megawati bwerjasa menyelamatkan Prabowo dari status ‘stateless atau warga tidak bernegara’ setelah berhenti dari TNI. Saat itu, Prabowo mengasingkan diri ke Yordania dan terkesan telantar di negeri orang.
“Seandainya sejarah stateless-nya Prabowo itu terus berlanjut, mungkin karir Prabowo sebagai Jenderal dan politisi akan berbeda. Bahkan pada 2009, Megawati mendapuk Prabowo maju jadi calon wakil presiden,” kata Iqbal. [wir]
Link informasi : Sumber