Surabaya (beritajatim.com) – Bullying atau perundungan merupakan fonemena seperti gunung es yang tidak bisa diselesaikan dari sisi hukum semata.
Namun salah satu perspektif yang tak kalah penting adalah melibatkan peran psikolog untuk membantu membentuk karakter dan meminimalisasi dampak psikologis yang ditimbulkan oleh tindakan perundungan baik untuk korban maupun pelaku.
Hal itu disampaikan wakil dekan Universitas Surabaya (Ubaya) Peter Jeremiah di sela sela sarasehan yang bertajuk stop bullying dalam perspektif hukum dan psikologi yang digelar oleh DPRD Jawa Timur bekerjasama dengan Fakultas Hukum Ubaya, komisariat Fakultas Hukum ikatan alumni Ubaya, pusat pelayanan psikologi Bijaksana dan Komisi Perlundungan Anak Jawa Timur.
Peter menambahkan, kunci penyelesaian bullying adalah dari keluarga. Karena dari keluarga bisa mengidentifikasi lebih awal mula sebelum terjadi bullying.
“Pertama adalah orangtua yang perlu mendengar keluh kesah anak, apa yang menjadi permasalahan anak baik di sekolah maupun di lingkungan rumahnya. Peran orangtua dalam mendengar permasalahan anak adalah menjadi sangat penting, agar permasalahan yang dihadapi anak ini tidak terlampiaskan ke hal-hal yang negatif,” ujar Peter.
Ubaya sendiri sudah terlibat langsung untuk menghentikan masalah bullying dengan membentuk satgas untuk terjun ke sekolah-sekolah dengan melibatkan dosen dan mahasiswa.
“Kita jelaskan ke siswa bagaimana konsekwensi hukumnya apabila melakukan tindakan bullying, dan kita juga mengatakan ke siswa yang menjadi korban untuk tidak segan menyampaikan ke kami sebagai wadah untuk menampung permsalahan bullying, jangan didiamkan agar tidak menjadi fenomena gunung es,” ujar Peter.
Sementara Salawati, advokat yang menjadi salah satu narasumber mengatakan, bullying selama ini identik dengan perilaku remaja namun apabila dikaji lebih dalam, bullying sebenarnya adalah suatu tindakan kekerasan yang disengaja kepada pihak lain dengan tujuan menyakiti, mengganggu secara terus menerus.
Alumni fakultas hukum Ubaya ini menambahkan, dalam hukum pidana sudah diatur pasalnya, diantaranya pasal 315 KUHP, pasal 311 KUHP, pasal 27 UU ITE, pasal 406 dan 407 KUHP, pasal 16 UU no 40 tahun 2008.
Lebih lanjut Salawati mengatakan, pertanggungjawaban atas suatu tindak pidana anak dalam UU SPPA dibedakan dalam tiga kategori, yaitu :
1. Anak yang berusia di bawah 12 tahun
Dinyatakan bahwa anak yang melakukan tindak pidana, tetapi ketika tindak pidana tersebut dilakukan, anak belum berusia 12 tahun, maka kepada anak tidak dapat disentuh oleh sistem peradilan. Dan anak tersebut dikembalikan kepada orangtuanya.
2. Anak berusia 12-14 tahun
Seorang anak yang berusia 12-14 tahun yang melakukan tindak pidana dapat diajukan ke depan persidangan, namun anak dalam kategori usia ini tidak dapat dijatuhi hukuman. Karena anak dalam usia ini hanya diberikan tindakan dikembalikan kepada orangtua atau dikembalikan kepada panti sosial.
3. Anak berusia 14-18 tahun
Anak pada usia 14-18 tahun dianggap sudah dapat bertanggungjawab atas tindak pidana yang telah dilakukannya. Anak yang dikategorikan pada usia ini sudah dapat ditahan dan divonis berupa hukuman penjara yang lamanya dikurangi setengah dari penjara orang dewasa.
“Acara ini dibuat dari perspektif hukum dan paikologi juga dijabarkan pada anak-anak dan orang dewasa bahwa ini ada konsekwensi hukumnya ada pidananya,” ujarnya.
![Foto BeritaJatim.com](https://beritajatim.com/wp-content/uploads/2024/11/IMG_20241124_053314-300x204.jpg)
Sala menambahkan, dalam acara tersebut juga dibahas yang menjadi faktor masih maraknya bullying adalah faktor personal dan situasional.
“Kalau saya pribadi bahwa yang menjadi faktor penyebab juga adanya kekosongan peran pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini, belum ada sistem yang rapi terperinci sebab seolah-olah tak ada efek jeranya,” ujar Sala.
Terpisah, Freddy P anggota DPRD Jawa Timur mengatakan, aturan tentang perundungan atau bullying sebenarnya sudah ada di Perda 2 tahun 2014 tentang perlindungan anak, namun apakah Perda tersebut masih efesiensi ini yang masih dikaji. Sebab, Pemerintah memiliki tanggungjawab pada warga negara apalagi anak.
Selama ini kalangan kampus seperti Ubaya sangat kooperatif, perduli dan aktif turun untuk menyelesaikan persoalan ini. Pun demikian pemerintah juga sudah memiliki perdulu terhadap permasalahan ini.
“Perda ada, Pergub ada, berarti negara sudah mempunyai keperdulian. Tapi kenapa masih marak? Ini menjadi tugas bersama untuk menyelesaikan permasalahan ini,” ujarnya.
Untuk itu pihaknya meminta Ubaya, untuk membantu mensosialisasikan permasalahan ini dan mengkaji Perda ini masih relevan apa tidak? Kalau tidak relevan harus dicari jalan keluar.
“Ini menjadi tugas bersama, baik di rumah maupun di sekolah dan lingkungan. Pelajaran budi pekerti masih sangat diperlukan, saling menghormari satu sama lain,” ujarnya.
“Ini menjadi tugas kita bersama, kita libatkan semua lini mulai pemerintah, akademisi, tokoh agama, tokoh muda. Dan ini harus konsisten jangan latah, ketika ada peristiwa yang viral kemudian semua pihak baru melakukan aksi,” katanya.
“Padahal peristiwa pembulian ini terjadi hampir setiap hari, artinya sebelum ada peristiwa harus ada tindakan dari kita, jangan menunggu ada peristiwa yang viral baru ada tindakan,” pungkasnya. [uci/suf]
Link informasi : Sumber