Malang (beritajatim.com) – Kenaikan PPN resmi berlaku per 1 Januari 2025, pasca pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131 Tahun 2024. Pasal 2 ayat (3). Presiden Prabowo memastikan bahwa pengenaan PPN 12 persen dikenakan pada barang-barang tertentu yang tergolong mewah. Misalnya kendaraan bermotor, rumah mewah, apartemen, kondominium, tow house, pesawat jet pribadi, dan lain sebagainya.
Menanggapi hal itu, Sekjen DPP Gerakan Masyarakat Perangi Korupsi (GMPK), Abdul Aziz menyatakan, meski pemerintah melalui Kementerian Pajak mengatakan kenaikan PPN dari 11 persen menjadi PPN 12 persen hanya menyebabkan tambahan harga sebesar 0,9 persen bagi konsumen, tetap saja memiliki dampak signifikan bagi warga-masyarakat kecil.
“Seluruh kebutuhan pokok sekadar untuk hidup, pada naik. Pemerintah tak bisa mengontrol harga di pasar-pasar tradisional,” kata Aziz, Minggu (12/1/2025).
Menurut Aziz, narasi kenaikan pajak yang disebut akan menekan daya beli masyarakat, inflasi dan pertumbuhan ekonomi terutama di kelompok menengah ke bawah. Sehingga, diprediksi dapat mengurangi konsumsi domestik, juga tak berbanding lurus dengan kenyataan bahwa daya beli akan kebutuhan dasar rumah tangga tak bisa ditunda. Seperti harga cabai rawit yang kini harganya meroket hingga Rp 100 ribu per kilogram.
“Perlu Pak Presiden ketahui, bahwa pada praktiknya, kenaikan PPN 12 persen itu tak sekadar terjadi pada barang-barang mewah. Namun, hampir seluruh kebutuhan pokok masyarakat mengalami kenaikan yang luar biasa,” ucapnya.
“Kalau cabai rawit saja Rp 100 ribu per kilogram, apakah ini yang disebut menciptakan sistem perpajakan yang adil dan pro rakyat boleh lah, Pak Presiden turun ke bawah. Melakukan kunjungan ke pasar-pasar tradisional,” sambungnya.
Aziz memandang, kenaikan pajak berlangsung belum dua pekan. Tapi, masyarakat sudah merasakan dampak yang menguras kantong.
“Kasihan masyarakat Pak Presiden. Sudah lapangan pekerjaan jauh dari ideal, pengangguran menjamur, penghasilan rumah tangga kembang kempis bahkan tak menentu, ditambah kenaikan pajak yang kian menghimpit ekonomi masyarakat. Tak sedikit masyarakat yang menjerit akibat kenaikan pajak ini. Mereka hanya bisa berdoa agar pemerintah peka akan situasi dan kondisi riil di bawah,” tuturnya.
Masih kata Aziz, kenaikan pajak yang baru berjalan kurang dari dua pekan ini, nyata memberikan dampak pada bertambahnya pengeluaran masyarakat. Utamanya, mereka yang secara ekonomi tidak beruntung dan tergolong kelompok rentan.
“Mereka (masyarakat-red) harus bersusah payah untuk menghidupi keluarganya. Menyekolahkan anak-anak untuk masa depannya. Sehingga pengeluaran yang lebih besar dari pada penghasilan, berpotensi menurunkan kualitas hidup seseorang karena potensial mengancam kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan,” ucap Aziz yang juga Founder dan CEO Firma Hukum Progresif Law itu.
Ia menambahkan, dampak serius dari kenaikan pajak adalah memperburuk ketimpangan ekonomi antara si kaya dan kaum papa.
“Sudah waktunya Pak Presiden mengevaluasi persoalan pajak ini. Presiden harus mengevaluasi kenaikan pajak karena bukan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sebaiknya, masyarakat menangis karena harus berjuang dan berjibaku dengan penghasilan uang pas-pasan. Tentu, Pak Presiden tak ingin dikenang sebagai pemimpin negeri yang tak punya sensitivitas pada problem dasar bangsa ini,” pungkasnya. (yog/but)
Link informasi : Sumber